Advertisement

Surat Kecil Untuk Ibu

Ibu, adalah orang paling berarti dalam kehidupan anak-anaknya. Setiap anak ingin berbakti dan merengkuh syurga dengan menyayangi ibunya. Demikian juga bagiku, pun mendamba untuk berbakti dan berkasih mesra dengan ibu. Sayangnya Aku tak mampu bahkan untuk sekedar berucap "Aku sayang padamu, Ibu."



Ya, Aku terlahir dengan kekurangan, aku tidak tuli namun aku tidak bisa berbicara. Dan di saat semua orang memandangku sebelah mata, hanya ibulah yang senantiasa tersenyum dan memelukku. 


Ibuku sangat memahamiku, ibuku mengerti bahwasanya aku tersakiti ketika semua orang mendakwaku sebagai anak dengan gangguan pendengaran (a.k.a tuli) karena nyatanya tidak ada yang salah dengan pendengaranku, aku tetap bisa mendengar apa yang orang katakan, hanya saja aku tak berkemampuan memberikan respon verbal dengan suaraku. 

Ibu yang memberiku pengertian saat aku begitu terluka disebut tuna wicara atau bisu karena sesungguhnya aku pun memiliki pita suara. Ibu bilang aku hanya mengalami Disartria. 


*Disartria  adalah suatu kondisi dimana seseorang (anak) kesulitan dalam mengontrol otot-otot bicara yang terjadi karena bagian otak serta saraf yang bertugas mengontrol pergerakan otot-otot tersebut tidak bisa berfungsi secara normal. Kondisi ini bisa dipicu oleh beberapa hal, seperti cedera kepala, infeksi otak, tumor otak, stroke, penyakit Parkinson, penyakit lyme, distrofi otot, bell’s palsy, lumpuh otak, serta cedera pada lidah.*


Ibuku beranggapan aku bukanlah anak cacat atau berkebutuhan khusus, karenanya ibu bersikeras untuk tidak memilihkan SLB sebagai tempatku bersekolah. Ibu memasukkanku ke sekolah biasa dengan keyakinan aku mampu berinteraksi dengan baik meskipun aku memiliki kekurangan. Ibulah orang yang terus membangun semangatku dan ibu pulalah yang membuat aku tetap tumbuh percaya diri. Ibuku tidak pernah menganggapku berbeda dengan anak-anak lain. 


"Setiap makhluk diciptakana Allah dengan sempurna, meski mungkin Andhini memiliki kesulitan berbicara tapi Andhini juga memiliki hal luar biasa yang orang lain tidak miliki." 


Itulah yang dikatakan ibuku padaku dan kata-kata ibu selalu mampu membuatku merasa nyaman dan bersyukur memilikinya. 


Bagiku, Ibuku adalah orang paling luar biasa, orang paling tulus yang menerimaku dan menyayangiku. Namun, aku tak mampu memberikan balasan apa-apa bahkan untuk sekedar memanggilnya "Ibu".  


(Ibu, pergilah nikmati waktumu dan rawatlah dirimu!)


Kataku lewat tulisan di notes kecil yang selalu kukalungkan di leherku sebagai alat komunikasiku selain bahasa isyarat. 


Ibu hanya tersenyum dan menggeleng.


"Lain kali saja, saat kamu beranjak dewasa, kita akan melakukannya bersama." Kilah ibuku kemudian dan kembali berkutat dengan kesibukannya menyetrika baju-baju dari pelanggan usaha laundry kecil-kecilan yang dibuka dan dikelola sendiri oleh ibu. 


Sebenarnya ibuku dulu pernah berkerja sebagai guru honorer tapi saat aku lahir dan membutuhkan perawatan lebih darinya akhirnya ibu memutuskan untuk berhenti dan membuka usahanya sendiri. lagi-lagi Ibuku mengorbankan cita-citanya demi merawatku.

 

Ibuku tentulah perempuan istimewa, yang kecantikannya tak hanya kecantikan fisik belaka namun lebih dari itu, kecantikan ibu terpancar dari hatinya pula. Ibuku tak pernah menuntut apa-apa, baik itu dariku ataupun dari Ayah.

 

"Ibu tidak menginginkanmu menjadi anak pintar." 


Kata ibuku saat aku tak sengaja mengecewakannya, bukan karena nilai ulanganku yang jelek sih, tapi karena aku tidak jujur dalam mengerjakan ulangan tersebut. 


"Ibu hanya ingin kamu menjadi anak yang jujur dan mengerti."


Sebenarnya aku tidak begitu paham maksud ibu dengan kata "mengerti" yang ibu pilih dalam kalimatnya. Awalnya kupikir aku harus menjadi anak yang mengerti keadaan kami karenanya aku pun berusaha belajar dari ibu, tak menuntut apa-apa dan mensyukuri apa yang ada. 


Nyatanya bukan hanya itu maksud ibuku dengan kata "mengerti" tadi, pada kesempatan lain ibuku menjelaskan, percuma menjadi pintar jika tidak memiliki empati dan simpati. Jadi ibuku berharap aku tumbuh sebagai manusia yang memiliki rasa kemanusiaan, mampu berempati dan bersimpati serta mampu menempatkan diriku dengan baik di mana pun aku memikakkan kakiku. 


Hari ini aku melihat ibuku masih dengan aktiviatas seperti hari-hari sebelumnya. Aku tersenyum menghampirinya, aku mengamati ibuku dari dekat. Ah, Ibuku kini tak muda lagi, dan aku masih belum mampu menjadi seperti harapannya. 


Aku meraih tangan ibu yang mulai ada gurat keriput disana. Kuserahkan sebuah amplop kecil untuk ibu, namun sebelum ibu membukanya aku menyodorkan tulisan di notesku yang tak pernah alpa kubawa kemana-mana. 


(Selamat ulang tahun, ibu) 


Ibu tersenyum membaca tulisanku pada notes yang kutunjukkan padanya. Bertahun-tahun hanya kalimat itu saja yang mampu aku beri di setiap ulang tahunnya. 


(Maaf, Andhini tidak dapat memberikan kado terindah buat ibu. Hanya ada surat kecil dari Andhini kecil yang belum Andini sempat sampaikan ke Ibu.)


lagi-lagi Ibu tersenyum dan merentangkan tangannya sebagai isyarat padaku untuk menghambur ke pelukannya. Ibu mengusap punggungku lama menyalurkan kehangatan disana, dan air mataku pun tak terbendung lagi, merembes membasahi bahunya. Ibu merenggakan pelukannya dan memintaku duduk di sebelahnya. 


Perlahan dibukanya surat kusam itu. Tentu saja kusam, surat itu di buat oleh tangan mungilku dulu ketika aku masih berseragam merah putih. Hehehe artinya itu lebih dari 10 tahun lalu. 



Kupuja Dalam Hening


Syaraf otakku seakan terjeda bekerja

Hingga, tak mampu kutemukan rangkaian kata 

Dia terlalu istimewa dalam segenap penghormatan jiwa

Tak cukup diurai dengan baris-baris puja

Tak cukup terlukis lewat selaksa warna  


Dia tangguh dalam kerapuhannya

Menepis setiap keraguan dunia, padaku

Dia yang mengajariku merendah bukannya menjadi rendahan

Semangat dan doanya ajariku tentang makna perjuangan

Jangankan hanya harta, air mata dan nyawapun ia pasrahkan


Namun, Dia menipu (didepanku)

Air matanya adalah rahasia yang tak boleh aku tahu

Mengalir sedikit saja, buru dikejar ia seka 

Seolah ingin berkata, dia baik-baik saja


Dia itu kaya, 

Kaya hati untuk menerima kekuranganku

Tak pernah salahkan Tuhan, 

Kenapa Aku tak sama dengannya? 

Pun berbeda dengan teman-temanku. 


Dia, menerimaku yang tak dapat memanggilnya Ibu

Segala upaya ia juangkan untukku maju

Cukupkan segalanya untukku, pun tak pernah meminta kembali


Dan...dia itu pelupa, 

Melupa pada marah-kesalnya padaku yang selalu keliru

Yang tak mampu lakukan ini-itu

Aku yang bengal nakal buat Dia sengsara

Namun, dalam peluknya ia berikanku kesempatan, 

kedua-ketiga 


Dia itu embun, sejuknya hilangkan dahaga kalbu

Jiwanya teduhkan angkara

Tiupannya sembuhkan luka hentikan tangis 


Dia ibuku,

Pahlawanku yang tak pernah dapatkan kado ulang tahunnya

Apalagi penghargaan atas jasanya


Dia ibuku, 

Pujaanku yang tak pernah keberikan ucapan dan kecupan


Dia ibuku,

yang tau aku berbeda tapi tidak membedakan


Dia orang pertama yang mengerti bahasaku

Bahasa yang tak pernah tuntas kueja

Dia mengajariku berbicara tanpa suara

Menari tanpa irama nada


Dia ibuku, madrasah aula ku

Darinya aku mengenal-Mu (Tuhan)

Dalam sanubari kutoreh namanya

Dalam rengkuh cinta kusebut asmanya


Dia ibuku, yang kupuja dalam hening

Dalam simpuh dan simpulan doaku

Menghiba aku meminta keharibaan-Mu (Tuhan)

Syurga indah untuk tebus airmata dan perjuangannya



Ibu melipat kembali surat kusam itu, menyusut air matanya yang memang sudah jatuh sedari tadi. Kemudian aku menyodorkan sebuah kertas lain yang tentu saja itu membuat ibu memandangku bertanya-tanya. Aku hanya tersenyum dan mengisyaratkan dengan mataku agar ibu membukanya. 


Ibu rebah bersujud setelah membaca isi tulisan dalam kertas tersebut yang sesungguhnya adalah tiket untuk umroh ke tanah suci. Ibu kembali merengkuhku dalam pelukannya. 

Maafkan aku ibu. Engkau harus menunggu lama untuk sampai di hari ini. Aku bersyukur karena Allah begitu baik yang memberiku kesempatan dan rizki tak terduga lewat memenangi sebuah ajang lomba menulis. Ya, aku yang diberikan kekurangan dalam kemampuan berbicara ternyata diberikan kelebihan lain dalam hal menulis. Aku memujamu dalam keheningan, dan hanya mampu menuangkan lewat deretan aksara. Nyatanya, menulis adalah jalan yang diplihkan Tuhan untukku dapat berkesempatan memberimu secuil kebahagian dan kebanggaan.  


Ini tak seberapa dan bukan apa-apa. Baktiku belum usai, ibu. Kerana engkau adalah rahmat terbesarku. Engkau syurga dunia dan akhiratku. Trimakasih ibu! 


Seuntai janji dan doa untuk Ibu. Aku akan jadi anak yang "mengerti".


#hariibu2020 #hadiahterindahuntukibu #GloskinXFBB


Posting Komentar

11 Komentar

  1. Sebuah karya yang memberikan inspirasi dan sangat mengetuk hati akan perjuangan seorang ibu bagi setiap orang yang membaca termasuk saya, menunggu goresan tangan yang lainnya, semangat dan terus berkarya

    BalasHapus
  2. Bagus Mak...👍👍ibu tak pernah mengeluh demi anak2 nya....

    BalasHapus
  3. Bagusnya buu, mataq sampai berkaca kaca mbacanya 💓

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga yang terbaik untuk putri kecil dan ibunya nggih bund... insyaaAllah dia memiliki kelebihan yang orang lain tak miliki.

      Hapus
  4. huft...speechless
    menguras air mata Bund

    BalasHapus
  5. Kangen sama buku ceritamu😍. Mantap...lanjutkan terus menulismu sobat👍🏻

    BalasHapus

Trimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat!