Advertisement

Wanita Terhebat

 

Lagerunal

WANITAKU

 

Engkau lugu

Parasmu tak terlalu ayu

Namun kharismamu teduhkanku

Engkaulah savanaku

Tempat aku berteduh dan bersandar manja

 

 

Kini,

Engkau tak lagi muda

Sedikit ripuh dan layu termakan usia

Namun kidung cintamu selalu membara

Tak tersurutkan oleh masa yang meraja

 

 

Bagiku,

Kisahmu bagai romansa

Tentang adorasi jiwa ragamu

Tak terumpamakan gunung ataupun Samudra

Engkau reswara dalam penjunjunganku

 

 

wanitaku,

Azimatmu tersemat dalam kalbu

Bagai jampi-jampi perasuk sukma

Titahmu adalah keagunganmu

Kutrima di segenap atma jiwa

 

 

wanitaku,

cawan rinduku tak pernah kering

slalu kau tuangi dengan tirta amarta

Samudra kasihmu tak bertepi

 

Ibu engkaulah wanitaku

Muara kasih dan rindu

Pelabuhan cinta dan airmataku

Tempatku mengadu dan mengaduh

 

Ibu,

Memuliakanmu adalah pintu syurgaku

Namun diri ini terlalu angkuh

Tak sanggup luluhkan jiwa tulus

Meraihmu dalam rengkuh bhaktiku

 

Maafkan aku ibu

Yang tak jua sanggup bahagiakanmu


Wanita Terhebat



Andhini tersenyum getir, ditengoknya sang ibu yang masih sibuk dengan tumpukan baju-baju kotor milik pelanggan usaha laundry ibu. 

"Nanti antar bajunya bu Aida dan bu Rahmat ya, nak!" Ibu mengingatkan Andhini akan tugasnya. Andhini memang biasa membantu Ibu dengan mengantarkan hasil laundry ke pelanggan. Jadi Ibu memang menawarkan jasa laundry lengkap dengan jemput pakaian yang kotor dan antar pakaian bersihnya. Tentu saja Andhini dengan senang hati membantu ibu dengan menjadi kurir meskipun terkadang Andhini harus jalan pulang pergi ke komplek perumahan yang berjarak lebih dari 1 km.


"Maafkan ibu ya, ibu belum bisa membeli ban baru untuk sepedamu, nak." Ibu menghentikan pekerjaannya dan menatap Andhini dengan penuh penyesalan. Andhini tersenyum dan menggeleng cepat sebagai pertanda jika ia tidak apa-apa harus jalan kaki lagi kali ini. Sebenarnya ibunya tidak tega, meminta anak kelas 4 SD itu berjalan jauh sambil membawa barang laundry yang tak sedikit. Apa boleh buat, ia sendiri tak punya waktu untuk mengantar sendiri barang milik pelanggannya karena ia harus nyelesaikan pekerjaan yang masih bertumpuk. 


Kehidupan yang harus dijalani Andhini dan ibunya memang tidak mudah, apalagi sepeninggal sang ayah yang juga tidak meninggalkan kecukupan harta untuk mereka. Meski demikian Andhini bersyukur, ia memiliki ibu luar biasa yang tak menyerah begitu saja pada keadaan mereka. 


Menjelang sore adalah jadwal rutin bagi Andhini untuk melaksanakan tugasnya. Andhini bergegas menenteng 2 kantung besar, bertuliskan nama dua pelanggan ibu. Tampak ia sendiri kesulitan berjalan karena memang tubuhnya yang kecil harus membawa beban yang cukup berat. Andhini tersenyum pada ibu sebelum benar-benar keluar dari rumah kecilnya. Bersyukur mereka masih punya rumah ini sehingga mereka tak terlalu dipusingkan dengan biaya kontrakan.


Andhini kembali menghentikan langkahnya, sejenak ia menata kembali deru nafasnya, mengusap peluh yang membasahi dahinya. "Masih separuh jalan lagi, tenanglah, pulangnya kau akan bebas berlari, Andhini." Gumam Andhini pada dirinya sendiri. Andhini terus berdoa semoga hujan tidaklah turun, setidaknya sampai ia sampai di rumah pelanggannya. Andhini mendongak ke langit, wajah kecilnya semakin terlihat cemas ketika menyadari mendung itu rasanya sudah hendak jatuh menimpanya. 


Tangan kecil Andhini meraih kembali pegangan kantung pakaian yang sempat diletakkan untuk beristirahat sejenak tadi. Susah payah Andhini pun mempercepat langkahnya sebelum hujan benar-benar turun. Baru beberapa meter yang berhasil ia capai tiba-tiba hujan lebat jatuh begitu saja. Andhini hampir menangis karenanya. Oh, Tuhan!


"ciiiittttt..." Suara keras berdecit membuat Andhini tergagap dan sadar akan lamunannya. Jantungnya berdegup kencang ketika ia menyadari baru saja Tuhan yang sempat ingin disalahkannya karena menurunkan hujan ternyata memberikan keselamatan baginya. Mobil van hitam itu nyaris menggilas tubuh kecilnya. Dalam beberapa detik kemudian orang pun ramai mengerubutinya. 


"Siapa sih Ibunya, bener-bener kelewatan, membiarkan anak sekecil ini membawa barang banyak begini, mana lagi hujan pula." 

Andhini tanpa sadar meneteskan air mata, mendengar kalimat yang begitu menghakimi sang Ibu. Tidak, ini bukan salah Ibu, tapi ini salahku, aku yang tidak hati-hati dan terlalu egois menyalahkan hujan yang datang. 

"Ayo minggir, jangan diam saja di situ." Seseorang menyentak tubuh Andhini dan menyeretnya menepi. "Ibumu itu benar-benar tak tau malu, bisa-bisanya ia memperkerjakan anak bisu seusiamu."

Gelenyar rasa sakit kembali menghantam hati Andhini. Bocah 10 tahun itu ingin berteriak, anda saja ia bisa. Namun ia tidak bisa, bahkan hanya untuk membela sang Ibu. 

Tak perlu marah jika orang lain menyalahkanmu atau ibu, ketidaktahuan mereka memberi mereka hak untuk berkomentar demikian.

Itulah yang dikatakan Ibu setiap Andhini merasa sakit hati ketika orang lain menyalahkan atau merendahkan dirinya dan ibunya. 

"Andhini." panggilan itu membuat Andhini menoleh dan sesaat menepis rasa sakit oleh kata-kata orang tak dikenalnya yang menyeret tubuhnya tadi. 

Bu Aida, Andhini mengenali orang yang memanggil namanya dan kini menghampirinya tadi adalah bu Aida, salah satu pelanggan ibu yang mau Andhini datangi sore ini. Tiba-tiba Bu Aida merengkuh tubuh tipis itu dan memeluknya erat-erat.


"Andhini tidak apa-apa?" Tanya Bu Aida sembari melepaskan pelukannya dan memeriksa sekujur tubuh Andhini bila mungkin ia terluka. "Maafkan, ibu! Tadi ibu mengemudi sambil menelpon, Kamu tidak apa-apa, kan?"

Andhini hanya bisa menggeleng. Bu Aida tampak sangat lega dan kembali memeluk Andhini. "Andhini mau kemana?" 

Bocah kecil itu hanya menunjuk barang yang ia bawa. Bu Aida tampak kaget ketika mendapati nama yang tertera di salah satu kantung bawaan Andhini adalah namanya. Sontak Bu Aida baru teringat hari ini memang jadwal Andhini mengantarkan pakaian bersih dari laundry ibunya. Bu Aida kemudian menuntun Andhini ke mobilnya, memasukkan dua kantong bawaan Andhini pula. Mobil Bu Aida berputar arah dan kembali menuju arah perumahan tempat tinggalnya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumun sudah membubarkan diri ketika bu Aida berterimakasih dan meminta maaf atas kejadian yang mengganggu kenyamanan mereka tadi.


"Alhamdulillah kita ketemu di jalan tadi, Andhini" Bu Aida membuka obrolan kembali. "Tadinya ibu mau ke luar kota seminggu." 

Andhini mengangkat wajahnya kaget. Dalam hati Andhini bersyukur, mungkin kalau tidak ada kejadian tadi ia harus pulang membawa barang Bu Aida kembali ke rumah, karena menurut bu Aida, tidak ada orang di rumahnya selama seminggu ke depan. 

"Ini salah saya, harusnya saya mengabari ibumu, Andhini." Bu Aida tampak menyesal. Sesampainya di rumah bu Aida, bu Aida segera menyimpan barang dari Andhini, kemudian keluar lagi membawa uang untuk ongkos cuciannya. Saat melihat bu Aida membawa satu kantong besar yang tampaknya adalah baju kotor lagi, Andhini hanya menggigit bibir. Bu Aida hanya tersenyum melihat mungkin saja Andhini tengah berfikir bagaimana ia akan membawanya pulang. Kantung itu terlalu besar baginya.

Bu Aida menyerahkan uang ongkos cuciannya, kemudian memberikan selembar uang berwarna biru pada Andhini. 

"Terimalah Andhini, ini tak seberapa tapi mungkin kamu ingin membeli roti bakar hangat untuk ibumu nanti sepulang dari sini."

Andhini memandang bu Aida takjub, bagaimana mungkin bu Aida paham apa yang dibenaknya. Andhini memang sedang ingin membelikan ibu roti bakar. Karena tempo hari Andhini bercerita dia di beri roti bakar oleh pelanggan ibu ketika mengantarkan pakaian bersih kerumahnya. Dan Andhini menyatakan penyesalannya karena menghabiskan sendiri sepotong roti bakar keju itu sendiri dan tak mengingat ibunya.


Andhini sebenarnya ingin menolak pemberian bu Aida, karena ia merasa malu tidak bisa melaksanakan tugasnya dan malah merepotkan Bu Aida. Namun, tentu saja Bu Aida memaksanya menerima, hingga Andini hanya bisa mengucapkan terimakasih berulang-ulang. Bahkan Andhini pun tak bisa apa-apa ketika Bu Aida mengantarnya ke rumah Bu Rahmat dan kemudian dengan alasan sekalian Bu Aida melanjutkan rencananya berangkat ke Bandung maka Bu Aida pun mengantar Andhini pulang. 


"Ibumu pasti sudah mencemaskanmu, tadi berkali-kali sepertinya Ibumu menelponku" 

Andhini mengangguk mendengar Bu Aida, tapi dia tak mengerti kenapa Bu Aida justru menghentikan mobilnya di depan sebuah swalayan di dekat gang masuk tempat tinggal Andhini. Bu Aida turun dan sebentar dan kembali membawa dua bungkusan. Andhini hanya diam dan berdoa semoga Ibunya tidak terlalu mengkhawatirkannya, meski ini sudah malam dan hujan sudah reda tinggal menyisakan gerimis saja. 


Bu Aida memarkirkan mobilnya di ujung gang karena rumah kecil Andhini memang tak memiliki halaman yang cukup untuk parkir. Bu Aida menyerahkan dua kantung yang dibelinya di depan swalayan tadi pada Andhini dan menjelaskan itu untuk Andhini dan Ibu. Kemudian Bu Aida membawa kantung besar berisi baju kotornya semabari mengikuti langkah Andhini menuju rumahnya. Dari kejauhan tampaklah Ibu sudah menunggu di ambang pintu. Ibu bergegas menyongsong Andhini dan memeluknya. Ia sudah mendengar dari tetangganya tentang kejadian Andhini yang hampir tertabrak mobil sore tadi.


Ibu berterimakasih pada Bu Aida yang begitu baik menolong anaknya. Bu Aida tersenyum dan mengusap rambut Andhini lembut sebelum berpamitan melanjutkan perjalanan ke Bandung. Ibu sekali lagi berterima kasih dan mengiringi kepergian bu Aida dengan doa. 


(Ini bukan salah Ibu, Andhini yang salah dan tidak hati-hati!) 

Andhini menunjukkan tulisan di notesnya. Ibu terharu menatapnya kemudian direngkuhnya kembali putri kecilnya ke dalam pelukannya. 

"Andhini tidak bersalah, lain kali berhati-hatilah."

(Andhini berjanji Bu. Mari kita makan, tadi bu Aida membelikan kita roti bakar dan martabak.)

Ibu sekali lagi memandang Andhini trenyuh.

(Maafkan Andhini, Ibu! Belum bisa membelikan Ibu roti bakar dari jerih payah Andhini.)

"Tak mengapa Andhini, Engkau adalah rizki terbesar ibu. Lihatlah, karenamu ibu dapat pekerjaan banyak dari bu Aida dan ibu bisa mencicipi roti bakar yang katamu enak ini."

Ibu tersenyum dan mengusap puncak kepala gadis kecil itu. 

"Lain kali berhati-hatilah, Ibu hanya punya dirimu dalam hidup ibu."


Andhini menyodorkan uang lima puluh ribu pada ibunya, mungkin dengan uang itu nantinya Andhini dapat memperoleh ban baru untuk sepedanya. 

(Maafkan Andhini yang terpaksa menerimanya, Andhini tau kalau ibu tidak suka mereka mengasihani kita, tapi Bu Aida memberinya tulus.)

Andhini paham betul, ibunya selalu berpesan bahwasanya meski mereka miskin tapi pantang untuk meminta belas kasihan orang lain. Ibu mengajarinya untuk senantiasa bekerja keras dan tidak berpangku tangan mengharap bantuan orang lain. tapi untuk kasus hari ini, Andhini tidak bisa apa-apa. Bu Aida tidak bisa ditolak, katanya "tidak baik menolak rejeki."

Andhini menyadari keberuntungannya menjadi anak ibu, kalau saja ibu bukan orang baik, tidak mungkin pelanggan ibu sebaik Bu Aida. Bu Aida ini bahkan hampir celaka karena kelalaian Andhini  yang berjalan sambil melamun dan marah pada Tuhannya. Namun Bu Aida justru berbaik hati menolongnya. Semua karena Bu Aida kenal baik dengan Ibu sehingga bu Aida tidak ikut-ikutan menghujat Ibu. Andhini tersenyum, Ibuku memang wanita terhebat yang bahkan meski tak ada di sisinya namun nama baiknya telah melindungi dan memberinya keberuntungan.

Andhini menyesal, ia sempat berburuk sangka pada Tuhan karena tak menjawab doanya dan justru menurunkan hujan. Namun, dibalik itu semua Tuhan memberinya nikmat luar biasa, yang pertama nikmat selamat dari maut, kemudian bertemu Bu Aida yang menolongnya melaksanakan tugas dari ibu serta memberinya uang dan makanan.

Sesungguhnya selalu ada hikmah di balik suatu peristiwa. Andaikan kita mau bersyukur atas segala kehendak-NYa.








Posting Komentar

15 Komentar

  1. Bagus .. menyentuh hati membuat ku menangis 😭😭😭

    BalasHapus
  2. Tentang ibu tak pernah selesai dalam bait dan cerita
    https://winansar.blogspot.com/2020/12/cerpen-siapa-aku-tanpa-ibu.html?m=1

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap bapak
      Ibu adalah mutiara terindah, tanpanya kita bukan siapa-siapa

      Hapus
  3. 😭😭😭😭😭 ooh..ibu 😍😍

    BalasHapus
  4. Karya yg luarbiasa sangat menyentuh..

    BalasHapus
  5. Karya yg luarbiasa sangat menyentuh..

    BalasHapus
  6. Luar biasa puisi dan ceritanya menyatu ketika dibaca...
    Terimakasih untuk ceritanya
    Sehat selalu

    BalasHapus
  7. Ibu, memang sumber inspirasi tak terbatasa

    BalasHapus
  8. Menetes air mata ini.. Ingat sosok seorang ibu...

    BalasHapus
  9. Penutupnya bahan refleksj banget untuk kita semua

    BalasHapus
  10. mantap bu, keren... saya belajar banyak

    BalasHapus

Trimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat!