Advertisement

Hujan




Hujan tak pernah menjanjikan pelangi namun hujan tau kapan waktunya untuk berhenti. Begitulah kehidupan yang harus Suci jalani, seperti hujan. Suci tak pernah menjanjikan gemerlap dunia pada kedua putri kecilnya, namun dia pastikan bahwa bahunya tak akan lelah memikul tanggungjawab. 

"Mbak, musim hujan tiba, jalan depan rumahmu itu licin, saya hampir saja jatuh tadi." 

Ingin sekali Suci jawab kalimat bapak tetangga yang baik hati tersebut dengan ejekan, "masih hampir, kan?",  namun Suci segera menepiskannya jauh-jauh dan tetap memberikan senyum terbaiknya untuk Si Bapak. 

"Nyuwun pangapunten bapak, panjenengan doakan semoga saya dapat rizki untuk sekedar membeli sirtu" Suci menangkupkan kedua tangannya di depan dada berharap si Bapak tetangga mau tulus mendoakannya. 

"Ya gini ini, kalau sok-sok an hidup sendiri." omel si Bapak lirih namun masih sampai ke pendengaran Suci. Ya Allah, begini amat ya pandangan seorang tetangga pada wanita -janda-. Suci menyusut air yang merembes di sudut matanya sembari memandang punggung Pak Arman yang menjauh.

" Mi, genteng samping bocor." Seruni datang tergopoh-gopoh memberitahu masalah lain yang terjadi. 

Suci pun terhenyak dan sekilas melirik jam di dinding, sebentar lagi anak-anak akan sampai bagaimana kalau tempatnya basah? Tak menunggu lama, Suci bergegas ke samping rumah mengambil caping yang tergantung di tembok serta menyeret tangga bambu yang bersandar di sebelahnya. Sejurus kemudian, Suci sudah nangkring di ujung tangga.

Beruntunglah gentengnya hanya pecah. Begitu diganti genteng yang utuh masalah bocor pun teratasi. Andai kebocoran disebabkan talang airnya tentunya akan lain lagi ceritanya. Mau tak mau pasti harus memanggil pak tukang, mengingat tak ada laki-laki di rumah ini, dan otomatis pengeluaran akan bertambah untuk ongkos tukang. 

Selesai berkutat dengan genteng bocor, Suci bergegas ke saung kecilnya, menggelar tikar, menata dampar --meja panjang dengan kaki pendek yang biasanya dipakai untuk ngaji di TPA-- dan buku-buku. Tak lupa pula menyiapkan boardmaker, terakhir menghapus tulisan di whiteboard kecil yang bersandar diujung saung. 

Begitulah rutinitas Suci setiap wekend, alih-alih 

asyik menikmati pemandangan waduk banyu lumut atau pergi ke mall untuk sekedar refreshing dari penatnya kesibukannya selama sepekan, Ia justru asyik masyuk memberikan pelajaran tambahan di "Lentera Ilmi". Rumah belajar kecil yang dibangunnya dengan tetes keringat dan air mata, semata-mata untuk membantu anak-anak sekitar yang tak mampu membayar bimbel di luar sana.
Bukannya tidak lelah,atau tak butuh refreshing dari penatnya kesibukannya selama sepekan, hilir mudik mulai mengurus anak sendiri sampai mengurus anak orang pun dilakoninya tiap hari. Getirnya rasa yang harus ia telan karena suaminya lebih memilih menggandeng wanita lain dan menyisakan statusnya yang masih menggantung sampai saat ini, tak pelak, Suci pun memilih menenggelamkan diri pada urusan pekerjaan dan anak-anak. Saking sibuknya, Suci pun melupa pada rasanya merindu, rindu akan kasih sayang pasangan telah ia kubur dalam-dalam. Lebih tepatnya, ia terpaksa mengubur rindunya pada laki-laki yang sebenarnya masih berstatus suami baginya. Perlahan rasa yang dulu ada pun telah tergusur oleh rasa muak dan kecewa.
Kendati begitu, Suci tidak menampik kenyataan bahwa diluar sana, orang taunya dia adalah janda, dan tak sedikit memang yang menganggapnya sebagai sumber kegagalan rumah tangganya, salah satunya Pak Arman, tetangga yang tadi mengaku hampir terpeleset ketika lewat samping rumahnya.
###
Pagi ini berbalut mendung, Awan hitam bergelantung manja, membujuk Sang Mentari untuk memicing mata dan menarik selimut dibalik peraduannya. Hal ini berbanding terbalik dengan aktivitas di dalam rumah Suci. Tiga orang penghuni rumah sudah disibukkan dengan urusannya masing-masing, Suci masih sibuk dengan penggorengannya, sementara Seruni sudah selesai mandi dan sedang menyiapkan seragamnya untuk mengikuti google meeting pagi ini. Ya, sekolahnya masih menerapkan pembelajaran daring sebagai dampak berkepanjangan pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia dan hampir seluruh dunia.
"Mi, adik yang bikin sambelnya ya!" pinta Kemuning seraya menunjukkan cobek berisi tomat setengah gosong, beberapa cabe n bawang merah serta secuil terasi dan sejumput garam.
Suci menatap anak usia 4,5 tahun itu, kentara benar jika ia meragukan kemampuan putri kecilnya itu menarikan ulegan dengan tangan mungilnya. "Baiklah... cantik, ulegnya pelan-pelan aja ya, kalau tidak kuat bilang Umi." putus Suci pada akhirnya, tak tega rasanya melihat rona menghiba putri kecilnya yang tampak ingin membantunya. Ya Allah, mampukan aku membesarkan anak-anakku dan mendidiknya menjadi anak-anak tangguh yang sholihah, batin Suci serta buru-buru menyusut sudut matanya sebelum gerimis jatuh ke pipi.
"Umi, kapan bapak akan pulang?" Suci tercekat, ditolehnya sejenak putri kecilnya yang sedang beradu kekuatan dengan ulegan. Tampang tak berdosanya membuat Suci menelan ludahnya kelu.
"Sudah selesai ya ngulegnya?" alih Suci sambil pura-pura memeriksa hasil kerja keras putrinya.
"Bapak tidak akan pulang ya, Mi?" rupanya Kemuning tak ingin menyerah, ia menginginkan jawaban keluar dari bibir ibunya. Meskipun sebenarnya ia sudah tau dari kasak-kusuk tetangga jika ayahnya sudah menikah lagi, tapi ia ingin tau kebenarannya langsung dari ibunya.
Suci mengacak rambut anaknya dan bergegas memanggil Seruni untuk segera bergabung di ruang makan. Sarapan pagi adalah pengalihan yang bisa dilakukan Suci untuk lari dari cecaran pertanyaan anaknya.
Entahlah, diantara kedua putrinya, justru Kemuninglah yang lebih ingin tahu tentang ayahnya. Bukan Seruni tak mau tahu, tapi seruni tak ingin mendapati ibunya diam-diam menangis didepan kandang ayam selepas mendapat pertanyaan dari anaknya.
###
"Bu Suci, tolong gantikan saya menemui tamu ya, saya harus mengantarkan laporan ke cabang dinas" Suci menoleh kemudian mengangguk samar mendengar apa yang diutarakan Bu Arum, teman sejawatnya.
Sudah biasa baginya menggantikan temannya itu untuk sekedar menemui tamu, baik itu tamu dari lembaga semisal perguruan tinggi yang hendak mengajukan sosislisasi ke siswa terkait lembaganya maupun sekedar menemui wali murid yang datang kesekolah memenuhi udangan dari pihak sekolah.
Setengah jam sepeninggal teman sejawatnya, tamu yang dimaksud belum juga tampak batang hidungnya. Sedangkan ruangan berukuran 4 × 4 meter itu tampak lengang, beberapa guru bk yang lain sedang masuk kelas.

...
Udan tanpo mendung
Gawe ati bingung
Ra iso tak bendung
Banyu tibo gowo teko roso
Roso seng wes tau tak kon lungo
...

Hanya lantunan lagu yang saat ini viral itulah yang menemani Suci diantara gelimang sepinya ruang BK. Letak Ruang BK yang jauh dengan area vital di sekolah ini menjadikan ruang ini memang terkesan terisolir. Guru Mapel bahkan kepala sekolah pun jarang menyambangi ruang ini, paling-paling mereka mau repot bertandang ke ruang ini jika ada masalah terkait kesiswaan saja. Apalagi siswa, mereka hampir tak pernah menjamah ruang itu kecuali siswa yang bermasalah atau siswa yang ingin konseling. Bagi siswa yang bermasalah, ruang ini ibarat lembaga peradilan sehingga sebutan "dipanggil BK" Itu otomatis lekat dengan status bermasalah. 

Senyap semakin syahdu menyapa Suci yang bergidik sendiri tanpa sebab, pantas saja rekan-rekannya tidak pernah mau berada diruang ini sendiri. Beruntunglah, kondisi itu tak berlangsung lama, sejurus kemudian suara ketukan pintu dibarengi dengan salam urung membuyarkan lamunan Suci. Dengan sedikit kaget Suci segera menjawab salam dan menyilakan laki-laki yang semula berdiri diambang pintu untuk masuk dan menempati kursi tamu.

"Suci." seru laki-laki tamu itu dengan nada kaget, serasa tak percaya. 

Suci tergagap, ia baru sadar karena ternyata maskernya turun di bawah dagu. Iya, Suci memang tak kuasa berlama-lama bernafas dibalik maskernya, karenanya ia menurunkan maskernya tadi, toh kan tadinya dia sendirian diruang BK itu. 

Tak memperoleh jawaban dari Suci, laki-laki tamu itupun menggeser pandangannya pada name tag yang tersemat di depan dada sebelah kanan Suci. 

"Apa kabar Suci?" sapa laki-laki tamu itu setelah yakin orang didepannya ini adalah Suci,gadis yang sempat membuatnya jatuh hati. 

"Em... baik, mas, eh Pak." sahut Suci terbata dan tampak begitu salah tingkah. 

"Oh, syukurlah!" desah laki-laki tamu yang tak lain adalah Firman, kakak kelas Suci, si pemilik kisah kasih tak sampai.

Sebenarnya Suci ingin sekali mengatakan dan mengadu bahwa keadaannya tidak benar-benar baik. Lebih tepatnya, rumah tangganya tidak baik-baik saja dan tidak sedikit orang yang mencibir dengan statusnya. Akan tetapi kesadaran suci menahannya, Suci buru-buru membuang jauh-jauh pemikiran itu, mengingat bahwasanya laki-laki di depannya itu bukan siapa-siapanya lagi dan dia adalah laki-laki beristri. Ia tak mau anggapan "Janda" yang terlanjur tersemat untuknya ini semakin diperparah dengan tambahan "penggoda laki-laki beristri".

" Em, maaf mas, eh Pak, ada keperluan apa ya di sini, adakah yang bisa kami bantu." tanya Suci, meski terlihat sangat canggung, ia berusaha mengembalikan situasi tak mengenakkan itu ke situasi yang semestinya. 

"Mau menitipkan anakku." 

Suci mengkerutkan keningnya tak mengerti, otaknya kali ini seakan bekerja lebih lamban daripada biasanya. Aura laki-laki dihadapannya itu nyatanya tetap saja menghipnotisnya, diatambah lagi keterkejutannya akan bertemu lagi dengan laki-laki ini pun belum pulih mengembalikan kesadarannya. 

"Em... maksudku, aku hendak memindahkannya ke sekolah ini, dan kebetulan kamu disini, jadi aku nitip ya."

Astaghfirullah, kenapa Mas Firman ini masih menggunakan bahasa aku dan kamu. Keluh Suci dalam hati. Rasanya seperti sedang diiris-iris sembilu, ada semacam pilu disana. Lagi pula, ini yang dititipkan kan bukan helm atau sepeda kan? kok begitu entengnya Mas Firman berucap. 

"Oh, tentu saja Pak, putra-putri bapak di sekolah adalah tanggung jawab kami sekaligus menjadi anak-anak kami di sekolah." Suci berusaha tetap pada koridor keprofesionalannya, dia tak ingin hatinya membuncah dan menelurkan bunga-bunga liar yang kemudian akan membuahkan harapan lebih pada Firman, "Namun tentunya, sebagai orang tua, bapak hendaknya tidak lantas lepas tangan begitu saja, kami tetap mengharapkan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan pihak orang tua." 

Firman tersenyum, entah apa yang disenyuminya. Ya Allah, semoga situasi ini segera berakhir, dalam hati Suci berharap bu Arum teman sejawatnya tiba-tiba kembali apapun alasannya, berkasnya ketinggalan atau apalah, yang penting datangkan seseorang ke ruangan ini dan membebaskannya dari situasi tak nyaman bersama mantan ini. 

 ### 

Minggu pagi di pertengahan november, itu berarti sebulan setelah Suci bertemu kembali dengan Firman. Lagi-lagi mendung menyelimuti sejak pagi, bahkan sebentar tadi gerimis sempat menyapa, membawa serta angin dingin yang berhembus menusuk menyelusup hingga ke tulang. Suci merapatkan sweater tipis yang ia kenakan, sebelum hatinya juga ikut membeku diterpa dingin dan terpojok oleh situasi tak nyaman yang membelenggunya. 

Di depannya duduk dua laki-laki yang sebenarnya kehadiran keduanya sama-sama tidak diinginkannya. kehadiran mereka justru merobek kembali luka-luka lama yang susah payah dikubur oleh Suci. 

"Suci, tolong fikirkan kembali, setidaknya demi anak-anak kita" 

Demi anak-anak? Kemarin-kemarin kau kemanakan mereka, bahkan kau lupa ada mereka. Ketika wanita cantik nan seksi itu datang padamu, kau tak menolaknya, kau juga tidak memikirkan perasaanku dan juga anak-anak. Lalu, kini kau datang, dan mengatakan ini semua demi anak-anak. Suci menekan rapat-rapat bibirnya, tak ingin sepatah katapun lolos keluar. 

"Jangan menjadi egois Suci, berkacalah, semua ini terjadi bukan karena kesalahan Rizal, tapi kesalahanmu." tambah Pak Arman. Suci menatap sekilas pada Pak Arman, tetangga yang sebenarnya masih kerabatnya sendiri. Dulu, Pak Arman inilah yang menyuruh Rizal meninggalkannya karena dia ketahuan menerima telepon dari Firman. Dan Rizal yang tersulut api cemburu benar-benar melakukan itu, pergi meninggalkannya.

"Rizal itu hanya membalas kelakuanmu saja Suci, tapi setidaknya Rizal menikahinya, tidak selingkuh sepertimu." Airmata Suci sudah tak terbendung lagi, sudah menganak sungai membasahi pipinya dan berakhir di jilbab yang membalut di ujung dagunya. Begitu keji, tuduhan-tuduhan itu masih juga dilayangkan padanya. 

Firman memang mantannya yang kalau saja dulu tidak terjadi kesalahpahaman diantara keduanya, mungkin mereka akan menikah dan tidak akan terjadi pernikahan dengan Rizal. Namun, menyesali hal itu sama saja menyalahkan garis hidup yang Tuhan torehkan untuknya, karenanya Suci memilih diam. namun, yang mereka tidak ketahui, telepon yang dituduhkan sebagai perselingkuhan itu adalah kali pertama dan terakhir Firman menelpon setelah keduanya terpisahkan oleh kesalahpahaman 15 tahun lalu. 

"Anak-anak kamu butuh ayahnya, apalagi anakmu perempuan semua, kelak mereka membutuhkan Rizal sebagai walinya ketika menikah, maafkan dan terimalah Rizal kembali." Pak Arman masih kukuh membujuk Suci atau lebih tepatnya menyudutkan Suci. 

 Suci membuang wajahnya jengah, tak ingin membalas pandangan salah satu dari dua laki-laki itu. Dilihatnya Kemuning yang beberapa kemarin-kemarin selalu menanyakan ayahnya, kini hanya terdiam terpaku di luar sana sambil terus memandangi ayahnya dari balik kaca. Apa yang dirasakan gadis kecil itu? Tidakkah ia ingin memeluk Ayahnya, namun tak berani? 

Lain halnya dengan Kemuning, Seruni berbeda, gadis kelas 5 esde itu sudah lebih paham apa yang terjadi diantara kedua orang tuanya, ia hanya diam menampakkan raut marah dan permusuhan pada ayahnya. Ingin rasanya ia bilang pada Tuhan untuk mengganti saja ayahnya, jangan laki-laki di ruang tamu rumahnya itu. 

"Bagaimana dengan istrimu, Mas?" tanya Suci, ia tak dapat lagi membendung rasa ingin tahunya kenapa tiba-tiba laki-laki yang notabene adalah ayah dari anak-anaknya ini tiba-tiba hadir kembali di sini dan mengaku ingin kembali.

"Dia  wanita yang baik, dia mampu menerimamu Suci, jadi kumohon terimalah dia. Aku akan adil pada kalian."

Suci mendengus sinis, keadilan macam apa yang mantan suaminya tawarkan, dan wanita baik yang bagaimana yang menghancurkan rumahtangga orang lain? 

"Jika kau tak mau menerima Rizal, uruslah perceraianmu, dan jangan harap hak asuh anakmu akan jatuh padamu. Rizal lebih berhak, dia lebih mampu mencukupi dan mendidik anak-anakmu." tukas Pak Arman tajam menyambar pendengaran Suci. 

"Aku tidak mau ikut Bapak." 

Belum sempat Suci memberi jawaban, tiba-tiba kedua bocah itu menyeruak masuk ke ruang tamu, Kemuning dari teras luar dan Seruni dari arah dalam. Keduanya menghambur ke pelukan Suci. Mata keduanya sudah basah oleh air mata.

"Lihatlah, kau pasti sudah meracuni pikiran anak-anakmu sehingga menganggap Ayahnya itu orang jahat."

"Cukup, Pak!" serta merta Suci berdiri tak terima, dengan isyarat ia meminta anak-anaknya masuk ke kamar. Dengan isyarat pula ia meyakinkan anak-anaknya bahwa mereka akan tetap bersama. 

"Bapak boleh mengatakan segala hal yang buruk terhadap saya dan saya selama ini diam, bukan apa-apa, semata karena bapak adalah orang tua yang awalnya patut saya hormati." Suci menatap tajam ke arah Pak Arman. "Namun, Bapak perlu sadari, Bapak ini siapa? ini rumah tangga saya dan laki-laki ini, jadi Bapak tidak perlu merepotkan diri mencampurinya."

"Dan kamu, Mas. Apa kau lupa keadilan yang kau janjikan itu tak pernah ada?" tandas Suci sinis, "Berbahagialah dengan wanita baik yang bersamamu mas, dan lepaskan aku secara resmi, kumohon... ."

"Assalamu'alaikum, Su..." terdengar suara dari arah pintu, kalimat yang terpotong itu sontak membuat seisi ruang tamu menoleh. 

"ck ck ck... Pantas saja kamu berani berucap demikian Suci, ternyata ada dia, selingkuhanmu."  decak pak Arman tak kalah sinis. 

Suci menatap nanar pada siapa yang baru datang, Firman. Darimana dia tahu rumah Suci sekarang dan bagaimana bisa ia tiba-tiba datang kerumah Suci. 

"Oh, maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian, tapi barusan bapak menyebut saya apa?" tanya Firman sopan. 

Pak Arman diam, tak ada niatan menjelaskan kalimatnya tadi. 

"Maaf Pak Firman, ini urusan keluarga saya, mohon tidak ikut campur, jika bapak ada perlu dengan saya sebaiknya ke sekolah saja."

"O... jadi  perselingkuhan itu dilakukan disekolah to." celetuk Pak Arman lagi. 

Suci mengepalkan tangannya geram, kok ya ada makhluk laki-laki yang julidnya ngalah-nglahin Bu Tedjo yang ada di film Tilik itu.

"Maaf Suci, tidak bisa, saya terlanjur dikaitkan dengan permasalahan keluarga ini. Saya tidak terima dikatakan sebagai selingkuhan kamu."

"Maaf, beliau salah bicara, kumohon Pak Firman bersedia pergi dari sini."

Tak tega Suci terus menghiba, akhirnya Firman pun mundur dan memilih pergi meninggalkan tempat itu, urung menyampaikan kedatangannya untuk melamar Suci. 

Sepeninggal Firman, kedua laki-laki yang ada diruang tamu itu pun diminta pergi oleh Suci. Meskipun Pak Arman tampak tidak terima dicap telah mencampuri urusan keluarga Suci. Sementara itu,  di sisi lain Rizal justru kemudian menyalahkan Pak Arman yang dianggap membuat posisi Rizal menjadi sulit untuk kembali pada Suci. Apalagi tatapan tak biasa Firman terhadap Suci tak luput juga dari pengamatannya, sepertinya kedatangan laki-laki itu memiliki maksud lain. 

Suci menutup pintu rumahnya rapat, seakan pula menutup hatinya rapat-rapat. Baginya, sudah cukup hidupnya dikungkung oleh kesalahpahaman. Jika dulu atas nama kesalahpahaman Firman urung menikahinya, lalu atas nama kesalahpahaman pula Rizal meninggalkannya, maka ia pun berjanji tak akan membiarkan kesalahpahaman lain menjajah hidupnya. Anak-anaknya harus tetap menjadi miliknya tanpa kesalahpahaman diantaranya. 

Rinai gerimis di bulan november, mengakhiri hujan dalam pelukan senja. Meski pelangi tak kunjung tiba, namun tiga tangan itu bersatu dalam rengkuhan cinta. Ibu yang memilih sendiri bersama kedua putrinya, bak payung jingga yang memayungi hari demi hari yang akan mereka lakoni, di bawah hujan.




Posting Komentar

0 Komentar