Advertisement

AKSARA YANG HILANG

Aina segera menutup diktatnya dan bergegas berkemas. Mendung di luar sana sepertinya akan segera jatuh membasahi bumi. Aina harus segera kembali ke tempat kostnya sebelum hujan menghadang langkahnya. 

Setengah berlari Aina menuruni tangga. 

"Bruk... ."

Suara buku berantakan jatuh mengiringi tubuh Aina yang ambruk, nyungsep. Ah, untung saja tubuhku tidak benar-benar jatuh ke lantai. Batin Aina. 

"Cepat menyingkir... Tubuh kamu itu berat tau, serasa tertimpa tembok beton saja." omel sebuah suara yang begitu dekat dengan telinganya. 

Oh... no! Aina cepat bangkit ketika menyadari tubuhnya ternyata menimpa makhluk hidup dan baru saja bersuara mengejeknya berat seperti tembok beton.

"Dasar, jalan tidak pake mata."

"Mmmm... Maaf! " Aina mengulurkan tangan dan menunduk. 

Tapi tangannya hanya menggantung dan  terabaikan begitu saja. Cowok itu sudah melenggang pergi meninggalkannya. 

Ah, mimpi apa aku semalam, hingga harus bertemu makhluk paling menyebalkan di muka bumi.

Boro-boro seperti adegan film picisan, ini cowok bukannya bantuin mengambil bukunya yang berserakan dilantai, eh malah ngeloyor begitu saja tanpa babibu. 


### 


Di luar sana hujan menderas menghadang. Aina urung pulang. Niatnya untuk menghindari hujan pun gagal, rebahan di kost sambil menikmati novel di salah satu aplikasi juga tidak terealisasikan dan dia justru terjebak di situasi tidak menyenangkan di sini bersama makhluk paling menyebalkan sedunia, dan sialnya hpnya lowbat pula. 

"Sore kak, lagi nunggu hujan ya, saya ada payung nih!" cewek cantik itu menyodorkan payungnya pada cowok yang sedari tadi sibuk dengan laptop dipangkuannya. 

"Oh, terimakasih, tapi tidak perlu." 

Ih, ternyata dia bisa juga tersenyum, tapi ke aku aja juteknya minta ampun. Batin Aina sebal melihat adegan di seberang tempat ia duduk sekarang. 

"Tak apa kok kak, saya masih ada payung yang lain." tampak sedikit memaksa, cewek itu kemudian duduk disebelah cowok menyebalkan itu, "Atau saya antar ke parkiran ja, Kak?"

Cowok itu sekilas menghentikan aktivitasnya dan menatap cewek cantik itu. "Maaf, apa anda tidak bisa lihat saya sedang sibuk?" sahutnya, kali ini tampak tidak suka dengan penawaran cewek cantik itu. 

Aina tertawa dalam hati, lucu, jarang-jarang dia dapat melihat wajah cantik seorang Carla ditekuk sebegitu rupa karena penolakan cowok menyebalkan bernama, Aksa. Tanpa berkata apa-apa, Carla pergi dengan membawa kembali payung yang dia tawarkan tadi. Aksa terlihat tidak perduli.

Sementara itu hujan diluar sana masih menderas sempurna, sesekali angin dingin menyeruak masuk kedalam loby tempat Aina berada. Aina merapatkan sweaternya, satu-satunya hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk ke tulang. 

Berbeda dengan Aina, cowok bernama Aksa itu tampak khusyuk dengan laptopnya, seolah tidak terganggu sama sekali oleh hujan diluar sana ataupun angin dingin yang mengoyak kalbu. 

"Akhirnya Done." soraknya dengan senyum puas. 

Aih, ganteng juga makhluk ini jika sedang tersenyum begitu. Aina terpana. Oh tidak, dia adalah makhluk menyebalkan, dilarang terpesona padanya. Aina buru-buru menepis pemikiran aneh di benaknya. 

"Na, Lu belum pulang?" 

Aina menoleh dan menggidikkan bahu menjawab pertanyaan Saka yang baru menuruni tangga disebelah loby. 

"Gue antar, yuk!"

Aina menggeleng, bukan apa-apa, Aina sebenarnya mengetahui jika Saka memiliki perasaan lebih padanya, karenanya Aina tidak ingin memberi harapan pada Saka, jauh didalam lubuk hati Aina, dia masih menunggu Aksara yang hilang 7 tahun silam, ia masih meyakini bahwa Aksara akan datang. 

"Kau kenapa Na?" 

Aina buru-buru menyembunyikan wajahnya dalam dan menyusut airmata yang mengembang disudut matanya. 

"Nangis Lu, Na?"

"Ah, enggak, gue hanya lapar." Aina buru-buru menggeleng dan meringis menutupi fakta jika dia memang selalu menangis tatkala merindukan Aksara. 

Tanpa Aina ketahui, semua kejadian tadi tak satupun yang luput dari pandangan Aksa. Laki-laki itu kemudian buru-buru mengalihkan pandangannya ke monitor laptop dipangkuannya, tampak jendela emailnya masih terbuka, jejak mengirim ke akun yang sudah dicarinya hampir sebulan ini. 


###


"Aina, maafkan aku ya! Aku tetap harus pergi." bocah laki-laki berseragam biru putih itu hanya bisa pasrah ketika gadis cilik yang berseragam merah putih itu hanya menangis saja. 

"Aina, kau boleh memarahiku, tapi kau jangan menangis."

Mendengar itu, gadis kecil itu bukannya berhenti tapi tangisannya malah semakin menjadi, bahunya tampak berguncang-guncang seirama dengan tangisannya. 

"Aina, aku janji akan mengabarimu dan akan selalu menghubungimu, kita akan tetap berteman, ayolah Aina cantik jangan menangis lagi ya." Bocah laki-laki itu terus meyakinkan namun tetap tak ada sahutan, "Aina, aku janji 7 tahun lagi akan menemuimu, dan kita akan bersama lagi." 

Aina, gadis kecil itu mengangkat wajahnya, diberanikannya menatap ke dalam netra cowok kecil dihadapannya, berharap ada kesungguhan dalam janji itu. 


Ya, janji itu hanya tinggallah janji, Aksara tak pernah kembali. Secarik kertas yang dinanti juga tak pernah sampai, sekedar sapa lewat ujung telepon dari seberang lautan pun tak pernah ada. Aksara benar-benar hilang di telan bumi. Hanya sekelumit kisah yang didengar Aina kala itu, mobil yang keluarga Aksa tumpangi dari bandara mengalami kecelakaan, namun tidak diketahui kondisi keluarga itu, juga Aksara. 


"Na, ngelamun apasih?" suara Saka membuyarkan lamunan Aina, bayangan cowok manis berseragam biru putih itu pun telah menguap entah kemana.

"Aina... jangan keseringan bengong ntar ada setan ompong masuk lo, Lu mau jadi ikutan ompong?" 

"Apaan sih Saka." Aina menimpuk Saka dengan tissu. 

"Ayo dimakan gih." 

Aina mengangguk dan kembali menekuni isi piringnya, namun rasanya sudah tidak enak lagi karena terlalu lama dibiarkan. 

"Apa Lu masih memikirkannya?" 

"Ya."

Saka tersentak sejenak dan menghentikan makannya, ditatapnya Aina serius. 

"Aku memikirkan bagaimana proposal skripsiku bisa diterima jika tidak pernah sampai ke Prof Juned." 

Tanpa sadar, Saka menarik napas lega, kekhawatirannya tentang Aina yang masih memikirkan teman masa kecilnya itu ternyata tidak terbukti. Aina hanya sedang memikirkan skripsinya. 

"Asdos baru itu masih mempersulitmu?"

Aina hanya mengangguk sembari mengunyah kembali makannya. 

"Dia itu makhluk paling menyebalkan di muka bumi ini."

"Jangan terlalu membenci, nanti Lu kepincut lo."

"Ih, amit-amit, cowok tengil begitu siapa sudi."

Saka tersenyum mendapati Aina makin merungut. Ya, gadis itu terkadang memang terlihat kekanakan, tapi justru tampak menggemaskan bila sedang merajuk begitu. 


###


"Aina Fissabila Maharani." 

Aina mengangkat wajahnya, rasanya tak percaya dirinya dipanggil oleh Prof Juned. 

"Em iya,Pak, itu saya." 

"Nanti ke ruangan saya." 

Aina mengangguk dan hanya bisa pasrah. Entah apa yang akan terjadi nanti. 

Dirinya tidak yakin kali ini proposalnya diterima oleh pak Juned. Setelah berulang kali dia ditolak dan bersitegang dengan asisten dosen Prof. Juned. Asisten menyebalkan itu meminta perbaikan disana-sini, memangnya dia itu siapa, bukannya hanya asisten? 

Beruntunglah kemarin dia mendapat email dari entah siapa, yang jelas isi dari email tersebut sangat membantunya karena isinya adalah referensi-referensi yang sesuai dengan skripsinya, ditambah lagi ada satu file lagi yang isinya tentang acuan revisi  isi proposalnya. Aneh memang, tapi masa bodoh, yang penting bagi Aina adalah proposalnya diterima dan dia tidak akan berurusan lagi dengan asisten menyebalkan itu. Aturan main yang ditetapkan Prof. Juned memang seperti itu, mahasiswa bimbingannya harus melewati asisten dulu, jika sudah lolos barulah bisa bimbingan langsung dengan beliaunya. 


Aina berdiri bimbang di depan pintu ruangan Prof Juned. Keraguan tiba-tiba  menyergapnya begitu saja tanpa memahami bagaimana perjuangan Aina sampai ke titik ini. 

"Mau berdiri berapa lama di situ?" tegur suara ketus yang sudah dihafalnya diluar kepala.

"Tapi Kak... ." Aina menatap cowok yang baru keluar dari ruangan Prof. Juned itu ragu-ragu, haruskah ia meminta bantuannya? 

Belum sempat Aina menuntaskan kalimatnya, cowok itu sudah melenggang pergi, dan Aina mau tak mau harus masuk dan menghadapi Prof. Juned. 

Dengan merapal bismillah, Aina pun mengayun langkah memasuki ruangan Prof. Juned. Satu hal yang tidak Aina ketahui, cowok asisten dosen --Aksa--  yang dianggapnya menyebalkan itu sebenarnya adalah dosen magang dikampusnya. Dengan dalih masih magang maka ia memilih menjadi asisten Prof. juned, padahal sebenarnya ada tujuan lain di balik itu. 


Satu jam berada diruangan Prof. Juned tetnyata tak semenegangkan yang dibayangkan Aina, ia bahkan mendapatkan kenyamanan, Prof. Juned tidak segalak ketika di kelas.  Beruntunglah semalam Aina sempat mempelajari referensi yang dikirim email misterius itu untuknya, sehingga ia pun dapat menjawab dan meyakinkan Prof. Juned dengan mudah. Ditambah lagi, beberapa kali Prof. Juned mengungkap bahwa pak Aksa, Sang Asdos sudah meyakinkan tentang proyek di skripsi yang hendak dikerjakan Aina. Tapi, haruskah Aina berterimakasih pada Aksa si Asdos tengil itu? 

Aina keluar ruangan dengan perasaan lega, binar bahagia terpancar di wajahnya. Sepertinya langkahnya kedepan sepertinya sedikit lebih mudah. Setidaknya, ia sudah mendapatkan satu titik terang. 


"Kling... ." terdengar suara notifikasi dari aplikasi whatsapp di HPnya. Aina buru-buru merogoh tasnya dan membuka HPnya. 


"Ku kira kamu sudah berubah menjadi gadis cantik dan smart yang penuh percaya diri, nyatanya kamu tetap saja belum menyadari mutiara yang kamu miliki, Anyelir." 


Aina memutar pandangannya berkeliling tapi tak satupun orang disana, ruang-ruang dosen tertutup rapat semua, dan tak ada juga mahasiswa berseliweran disini, lalu siapa kiranya yang mengirim pesan singkat itu untuknya? 


Anyelir. Ah, itu mengingatkannya pada bunganya yang jatuh terberai ketika anak laki-laki kecil --umurnya 3 tahunan diatasnya-- menabraknya, akibat tidak mampu mengendalikan sepatu rodanya. Aina masih ingat bagaimana ia menangis dan anak laki-laki kecil itu sibuk meminta maaf dan merapikan kembali bunganya ke dalam pot. 

"Tidak rapi memang, tapi setidaknya bunga mawarmu tidaklah mati." 

"Ini bukan mawar, tapi ini anyelir." bentak Aina disela tangisannya. "Lihatlah dia tak cantik lagi, kelopaknya rusak." 

"Aku minta maaf, tapi bagiku dia tetap cantik kok, hanya perlu kamu siram." 

Anak laki-laki kecil itu meraih tangan aina yang juga kecil, membawanya ke kran air di taman sekolah, menyiram bunganya lalu tanpa banyak bicara mengantarkan Aina pada gurunya. Ia pun tak segan menceritakan kejadian yang mengakibatkan bunga Aina rusak, lagi-lagi anak laki-laki kecil itu mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Aina terpesona pada laki-laki kecil yang begitu bertanggungjawab itu. Sejak itulah dia jatuh cinta pada Aksara, siswa kelas 6 SD di sekolahnya. 

Dulu, saat sedang berolok-olok dengan Aksara, cowok itu sering menyebutnya "Anyelir", dan itu menjadi nama panggilannya khusus dari Aksara.

Sejak saat itu mereka berteman, mereka berdua sering menghabiskan jam istirahat bersama, sampai ketika Aksara sudah melanjutkan ke SMP pun dia masih sering menemani Aina --kebetulan SD dan SMPnya satu kompleks sekolah--. Sifat Aksara yang dewasa dan Aina yang sedikit manja menghadirkan kecocokan diantara keduanya. Sayangnya dibalik hubungan persahabatan itu ada rasa yang lebih dalam hati Aina, yang semakin hari semakin tumbuh. 

Pada akhirnya, mereka terpisahkan oleh jarak. Memasuki SMA, Aksara harus pindah ke luar negeri mengikuti ayahnya yang bertugas ke negeri kincir angin. Dan Aksara hilang sejak saat itu. Surat dan kabar yang dijanjikan pun tak kunjung hadir, seakan terjeda lautan yang membentang. 

Lalu, kini ada yang tiba-tiba mengirim pesan dan manggilnya "Anyelir" Kembali, siapakah dia? Apakah dia Aksaranya yang hilang? Dimana dia sekarang? 


Sementara itu, dibalik dinding kaca hitam salah satu ruang dosen, seorang laki-laki tampan sedang tersenyum sembari memegangi hpnya, matanya tak pernah lepas memandang menembus kaca, menikmati wajah ayu yang sedang sibuk menerka diluar sana. Dari nametag yang tersembunyi dibalik jaket hitamnya, tertera "Aksara Hastanta Gumilar".

"Akhirnya aku menemukanmu, Anyelirku." Gumamnya menyeringai. 


###

Trenggalek, 1 Desember 2021

HIKARI YULI

Posting Komentar

0 Komentar